Kamis, 03 Februari 2011

Buku Baru: Aktivis Setengah Mateng!



Halo teman-teman, apa kabar? Semoga baik, alhamdulillah. Lama sekali saya tidak memposting dan mengurusi blog tercinta ini. Okelah, saya akan memulai dengan basmallah.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin bercerita sedikit kepada teman-teman tentang beberapa teman saya yang mempunyai semangat atau ghirah untuk menuliskan catatan-catatan penting mereka. Kehidupan kampus yang sedikitnya telah menyentuh kesadaran mereka, kini mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. menulis -mungkin bagi mereka- adalah aktivitas menyenangkan. Atau, mungkin saja ada sebagaiannya yang merasa terpaksa.

Uniknya buku ini berkisah tentang perjalanan para aktivis kampus yang bergelut di dunia kedokteran. Dengan kesibukan mereka sebagai mahasiswa yang baik, tugsa-tugas yang menumpuk, mata kuliah yang menjemukan, dan aktivitas lainnya yang menurut mereka cukup membosankan. Tapi, dengan kesadaran kemanusiaannya, mereka tak melupakan kehidupan sekelilingnya. Mereka ingin menjadi mahasiswa luar biasa, mahasiswa aktif, tidak ingin mengurusi kuliah hanya sebatas akademik tanpa memandang kehidupan sosialnya.

Mengapa judul buku tersbut Aktivis Setengah Mateng? Karena dengan posisi setengah mateng kami masih terus diburu untuk menjadi mateng. Dengan kesadaran itu kami akan terus belajar, belajar terus! Kami tak akan berhenti di satu titik kepuasan dalam mengolah diri dan kesadaran aktivis. Kami ingin terus di posisi setengah mateng agar kami merasa diburu dan dikejar, dan kami terus berlari. Dan terkadang setengah meteng itu bergizi dan seksi.

Buku Aktivis Setengah Mateng memang berisi tentang kisah-kisah unik mereka. Bagaimana mereka meneguk sisi sprtitualitas, emosional, dan lainnya. Semua tertumpah dalam buku sederhana ini. Ada sekitar 15 aktivis yang ikut berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Tak banyak yang mereka harapkan dari terbitnya buku ini, selain mengharap ada perubahan dan pencerahan di kalangan para pembaca.

Dan saat ini kami masih ada satu harapan lagi; saran dan (kalau perlu) kritikan pedas dari para pembaca budiman. Maka, untuk mencapai semua itu, para pembaca mesti membaca terlebih dahulu buku tersebut. Bisa langsung mengirimnya ke antenapublishing@gmail.com.


Salam hangat.
Para Aktivis Setengah Mateng Periode 2009-2900



Pemesanan hubungi:
CP. 0857 2930 4040 (Zulkarnain)
0878 3979 7954 (Budi)

Kamis, 19 Agustus 2010

Langit Ketujuh Siap Meluncur


Judul : Langit Ketujuh
Penulis : Irvan Nasily
Genre : Novel
Penerbit : Antena Publishing
ISBN : 978-602-97654-0-3
Tebal : 310+viii hal
Ukuran : 19 x 14,5 cm
Harga : 45.000,-
.........................................................................................................

Menjadi dokter ternyata bukan jawaban yang memuaskan. Menjadi dokter bukan berarti untuk menjadi seorang kaya raya. Dalam beberapa sesi obrolan kecilnya, ia tersadarkan dengan anekdot dosennya. Ketika itu siang hari, saat panas mulai menghimpitnya.

"Kalau kalian mau kaya, jadilah pengusaha. Bukan jadi dokter!" Itu kata-kata yang menghujam dadanya. Itulah ungkapan yang lugas, keras dan terus berirama.

Mulai saat itu. Ia belajar untuk menjadi dokter yang lebih arif. Ia mulai memikirkan masa depan sosialnya. Ia tak hanya memikirkan tugas-tugas anatomi, fisiologi, dan lainnya. Ia mulai tertarik untuk memikirkan nasib bangsanya. Juga mencari solusi atas masyarakat di sekitarnya yang mulai terhimpit berbagai masalah.

Kegalauan itu akhirnya ia ceritakan pada kakeknya. Pada kakek yang telah ia kenal dan cintai. Ia biasa memanggilnya Akeh. Mulai saat itu, di suatu pagi ia meluangkan waktu untuk berkunjung ke Surau menemui Akeh, bercerita banyak hal. Dalam benaknya, berbagi adalah kebutuhan pokok, di samping makan dan minum. Dan dengan menuliskannya, ia merasa betapa dunia ini sungguh sayang jika tak dipotret dan diabadikan dengan untaian kata.
...........................................................................................................

"Satu kaliamt yang menarik dalam film Vertical Limit adalah: Semua orang akan mati, tapi yang penting apa yang bisa diperbuat sebelum mati. Orang hidup itu intinya adalah menulis sejarahnya, yang dengannya dia akan tetap dikenang meski sudah mati. Sdr. Irvan dengan indah telah menuliskan sejarahnya. Tulisannya cukup hidup dan inspiratif. Maka... Bacalah!"
dr. Sagiran, Sp.B.,M.Kes., Dosen FKIK UMY, Agamawan, Saintis, dan Penulis buku Mukjizat Shalat.

"Bagi mahasiswa seperti Irvan, kesediaan mengemukakan gagasan dan keberanian untuk menuliskannya saja sudah merupakan kemewahan yang patut dipujikan. Selamat! Saya termasuk orang yang membaca buku ini."
Fahd Djibran, Penulis dan Pegiat Kreativitas

"Dengan membandingkan novel Langit Ketujuh dengan karya-karya lain Irvan Nasily sebelumnya, saya sampai pada kesimpulan, bahwa ia telah berkembang pesat dalam menulis. Kali ini ia jauh lebih merdeka sebagai penulis. Usia semuda ini, ia berani mengambil jalur independen untuk menerbitkan karyanya."
Irwan Bajang, Penulis dan Pemred Indie Book Corner.
.........................................................................................................

Novel Langit Ketujuh adalah catatan-catatan kecil yang ringan dan sederhana. Bisa dibawa ke mana-mana, dibagikan kepada teman-teman, sebagai hadiah ulang tahun, hadiah ucapan "selamat" atas transisi mahasiswa, kado pernikahan, atau buku teman tidur anda.
Untuk berbagi kisah silahkan berkirim pesan ke daengdoang@gmail.com atau jika ingin memesan dari jauh hari silahkan berkirim ke irvan_nasily21@yahoo.com.

Salam Bahagia,
Irvan Nasily

SHARE!
--------------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 14 Agustus 2010

Islam, Agama yang Aneh

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang lelaki tua yang sudah lanjut usia. Ia mengatakan padaku bahwa islam adalah agama "rahmatan lil'aalamiin". Bahwa islam adalah agama yang tak mengajarkan kebiadaban, kekerasan, apalagi kekejian. Islam adalah solusi, islam adalah segalanya. Lantas saya mempertanyakan situasi islam yang kian dipojokkan di mata dunia. Islam telah kian hancur namanya di mata publik. Media massa telah berhasil mencuri hati publik untuk mengklaim keburaman islam.

Lelaki itu hanya memberikan senyum padaku, "banyak-banyaklah belajar! Islam bukan untuk kau perdebatkan, islam untuk kau pelajari lantas kau aplikasikan ilmu-ilmu yang telah kau fahami. Sederhana, bukan?"

Saya tak berhenti sampai sana, sehingga saya harus terus bertanya pada beliau. "Abah ini bagaimana, dalam situasi islam sedang terpojokkan, apalagi islam telah menajdi menghitam, masihkah saya harus memperlajari islam? Sedangkan dunia sudah tak percaya akan konsep "rahmatan lil'aalamin"nya islam?"

Abah, lelaki lansia itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Islam adalah prinsip keselamatan bagi manusia yang berada di muka bumi ini. Kau tak usah terpengaruh oleh pandangan orang lain tentang islam. Tugasmu adalah istiqamah menjalani hari-harimu untuk islam."

Saya masih belum puas. "Bagaimana mau beristiqamah untuk islam, sedangkan konsepnya saja sudah tidak diterima banyak pihak? Saya ingin memeluk islam karena benar-benar "rahmatan", bukan menyusul ibu dan ayah, Bah. Tolong jelaskan mengapa dunia mengklaim islam agama yang non-toleran? Agama yang menakutkan? Agama yang mengerikan dan menutup celah cahaya matahari?"

Sambil bangkit, Abah memetik bunga mawar yang harum semerbak. Saya tak mengerti dengan sikapnya. Apakah ia telah memulai masa pikunnya dengan pertanyaan-pertanyaanku yang membuatnya ingin marah dan geram. Bunga mawar yang Abah ambil itu segera ia celupkan ke dalam ember yang berisi cairan. Awalnya saya tak tahu bahwa cairan itu berbau busuk. Busuk sekali. Mungkin jika anda menciumnya, mungkin anda akan sama seperti saya, ingin berlari dan muntah-muntah. Beberapa lama kemudian Abah menarik kembali bunga mawar yang harum dan telah menjadi bau itu. Abah mendekatkannya pada hidungku.

"Apakah kau masih ingin mengatakan bahwa bunga mawar di dunia ini bau? Setelah Abah mencelupkannya satu kali di ember ini?"

Jujur, saya tak bisa menjawab pertanyaan Abah yang menghujam itu.

"Itulah islam yang terjadi sekarang ini. Ia harum, tapi ada banyak orang yang mencoba mencelupkannya ke ember kebinasaan. Tapi, Abah tak akan pernah mengatakan bahwa islam binasa. Sampai kapan pun. Karena, prinsipnya islam adalah "rahmatan lil'aalamin", sama seperti bunga mawar merah yang harum dan indah itu. Walau dicelupkan ke dalam ember, tetaplah bunga mawar di mana pun ia tumbuh akan harum."

Perbincangan ini sederhana mengajarkanku betapa islam memang konsep luar biasa untuk keselamatan kita sekarang dan di masa yang akan datang, yang kita tidak tahu kapan ia akan menghampiri kita. Saya diyakinkan Abah, bahwa islam harus tetap berada di genggaman tangan, karena suatu waktu islam akan menjadi bara api yang sangat panas untuk dipegang, karena semakin banyak orang menghujat dan mengasingkannya. Maka, baginda Rasulullah saw. tak salah menyebut orang-orang yang istiqamah pada prinsip islam adalah orang-orang "asing".

Islam yang mulai menghangati relung jiwaku,
Irvan Nasily

Selasa, 03 Agustus 2010

Ramadhan Betapa Kau Indah dan Kurindukan


Allah, aku ingin semakin dekat denganMu. Allah, aku ingin semakin mencintaiMu, bukan yang lain. Allah, jika Kau menjadi juri bagi kehidupanku, aku ingin Kau tetap membelaku. Aku tahu, tubuhku bergelimang dosa. Dosa kemunafikan, keberpihakanku pada yang lain, kekurang ajaranku pada ajaran agammu yang indah dan suci, kesok tahuanku pada ilmuMu, kesombonganku pada setetes anugerahMu yang semestinya kusyukuri. Allah, lama sekali aku tak menangis merindukanMu, karena kehidupan dunia ini menyesakkiku. Allah, aku ingin mendekatiMu. Pliiis, Allah. Aku yakin mataMu tak pernah berkedip. Aku yakin tanganMu tak pernah terbalik untuk meminta. Aku yakin kakiMu tak pernah beranjak meninggalkan hamba-hambaMu. Aku tahu, aku yakin, karena Kau kekasihku, tapi aku malu, karena jangan-jangan Kau sudah tak menganggapku.

Aku masih ingat ketika Kau memanggilku di suatu pagi yang sejuk, tapi aku tak begitu peduli pada suara indahMu. Aku masih ingat, ketika Kau memberiku sesuap nasi, tapi aku memaksa untuk meminta segantang padi. Tapi, Allah, apa Kau tahu (pasti Kau Tahu), bahwa Ramadhan akan menghampiriku. Ramadhan, si bulan indah atau matahari cerah itu kini berada di depanku. Aku malu bertemu dengannya. Aku malu, ternyata dulu Ramadhan pada zaman Rasulullah saw adalah bulan yang sangat dinanti dan dirindukan para sahabat. Mereka terus menunggu kedatangan kekasihnya; Ramadhan yang mulia itu.

Allah, apakah Ramadhan benar-benar telah di depan mata? Apakah Kau tak bercanda? Aku masih ingat ketika aku mengotak-atik sound di Masjid dekat rumah, lalu aku dimarahi salah seorang warga, ia protes keras padaku, aku hanya diam dan malu, dan itu terjadi di bulan Ramadhan beberapa tahun silam, tapi aku merasa itu seolah terjadi beberapa bulan silam.
Allah, aku tahu, aku hanya akan menjadi pecundang jika menyambut Ramadhan ini dengan dingin-dingin saja. Atau bahkan tak sedikit pun ada respon cinta kasih yang membumbung untuk menyambutnya.

Aku heran dengan orang-orang mukmin-mukminat itu yang membisikiku pada suatu hari, "Ramadahan itu bulan penuh berkah, lho..." Aku mengangguk dan mengiyakannya. Tapi, lihatlah, baru saja ia bercerita seperti itu, ia tertangkap basah di sebuah kios sedang mencicipi segelas sirup segar.

"Aku hanya mencicipi, kok. Tak menelannya. Satu sendok kucicipi dan kudiamkan di mulutku beberapa saat, tak kutelan, tapi langsung kumuntahkan kembali. Aku mengambil air lalu berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa sirup itu. Sungguh, aku tak menelannya, aku hanya mencicipinya. Jadi, Ramadhanku tak hilang dong."

Aku mengerti dengan maksud dan arah tujuan pembicaraannya. Aku tahu betapa ia menjadikan Ramadhan hanya sebatas konsep ringan tentang "menelan dan mencicipi". Ia menghayati Ramadhan dengan begitu dangkalnya. Ia mengambil sudut pandang yang begitu suram, bahwa ramadhan hanya sebatas nilai "batal dan tidak batal".

Ya Allah, jika itu ternyata aku, aku ingin bersimpuh di hadapanMu. Sadarkanlah hambaMu ini. Bangunkan hamba, ya Allah. Aku tak bermaksud menyuruhMu, tapi sebagai pengharapnku agar Kau membukakan hatiku untuk menerima Ramadhan sebagai cinta yang dirindukan, seperti para sahabat yang selalu merindukan Ramadhan. Karena, Ramadhan terlalu indah untuk hanya dimaknai sedangkal dan sesuram "aku" yang dulu.

Semoga kita memaknai dengan sesungguhnya Ramadhan yang akan bertandang ke ruang tamu kita. Berbenahlah. Siapkanlah jiwa yang suci untuk menjamunya. Siapkanlah makanan halal untuk membugarkan tubuh di Ramadhan. Siapkanlah kain ketawadhuan untuk menyambutnya. Siapkanlah kursi keistiqamahan untuk mendudukkan Ramadhan di atas kursi terhormat.

Syukran Jazilan. Ya Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbinaa 'Alaa Diinika. (Ya Allah, Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami berada di garis ajaranMu). Amiin.

Malam, saat Allah sedang berdiskusi dengan hambaNya.


Gambar diambil dari http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:1oBwS0DyehGdKM::&t=1&usg=__BnbKqnYnQZdPNodoJrsuMckOha4=

Sabtu, 10 Juli 2010

Menulis, Membuang Gagasan yang Menyampah


Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Seperti saat anda, saya dan kita membutuhkan segelas air untuk kebutuhan cairan tubuh kita. Saya menulis ingin mencurahkan seluruh gagasan, ide, atau bahkan pikiran-pikiran yang menyampah di dalam otak saya. Dengan menulis saya bisa berbagi cerita dengan adik, kakak, ibu, ayah, tetangga, teman-teman, dan bahkan dengan musuh sendiri. Menjadi penulis bukan menjadi akhir tujuan, atau cita-cita teakhir. Menjadi penulis justeru sebagai gerbang pertaman untuk masuk ke level selanjutnya bahwa saya tidak boleh berhenti menulis. Say harus terus menulis menyampaikan sesuatu yang bisa dinikamti bersama

Menulis bagi saya seperti membuang sisa metebolisme; feses. Bukan lantas menjadi rendah dan hina. Justeru dengan itu saya merasa ada kelegaan dan kepuasan. Saya merasa puas ketika menulis telah diakhiri. Tapi, nutrisi bagi otak saya terus -hari demi hari- mengalir di sepanjang peredaran darah saya. Banyak informasi yang kian hari kian menumpuk dan mengendap di dalam otak saya. Saya mencoba menyimpannya, tapi metabolisme terus terjadi di setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Karena kita tahu, metabolisme yang baik adalah saat zat-zat yang direaksikan kemudian dipakai untuk kebutuhan energi. Begitu pun dengan menulis. Informasi-informasi yang menjejali itu terus direaksikan, pada akhirnya ia harus digunakan untuk sesuatu. Dan saya menggunakannya untuk membagikan pada banyak orang dengan menulis

Anda, saya, kita semua tak akan pernah luput dari kegiatan berbagi. Karena kita diciptakan dengan naluri bersama, seperti yang diungkapkan Aristoteles, manusia sebagai makhluk Zon Politican, makhluk yang empunyai hasrat untuk bersama, berbagi cerita, berbagi ilmu, berbagi pengalaman, berbagi gagasan, dan sebagainya

Menulis juga sebagai dokumentasi diri. Atau lebih pada refleksi diri. Maka dalam sebuah pengantar buku Kucing yang ditulis teman saya Fahd Djibran, Irfan Amalee menuliskan statement bagus mengenai 'pensejarahan' diri. "... jangan salahkan saya jika saya lebih mengenal Albert Einsten, Aristoteles, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, daripada mengenal kakek dari kakek saya. Alasannya sederhana, mereka menulis." Saya pun tak ingin dilupakan anak cucu saya. Saya tak ingin menangis jika seandainya anak cucu saya lebih membanggakan Karla Max, Vesalius, Goenawan Muhamad, Ulil Abshar Abdalla, Jalaludin Rakhmat, atau bahkan teman-teman saya seperti Fahd Djibran, Irfan Amalee, dan yang lainnya. Mungkin alasannya pun akan sederhana mereka menulis, sedangkan saya tidak

Maka dari kesadaran itu lah saya memutuskan untuk menulis, bukan menjadi penulis. Menulis apa yang saya rasakan hari ini, hari esok, bulan depan, tahun depan, dan waktu-waktu lainnya. Agar setelah saya meninggal nanti, saya bisa mewariskan sesuatu bagi anak cucu saya khususnya, terlebih bagi bangsa ini. Bukannya Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk terus memberi kontribusi bagi dunia, walau jasad kita suda disantap cacing dan binatang lainnya? Ya, salah satunya dengan menyebarkan gagasan yang bisa bermashlahat bagi khalayak masyarakat. Dan saya pilih dengan menulislah cara itu bisa saya capai. Dengan menulis, gagasan kita tak akan hilang dan akan -setidaknya- dibaca orang. Kemudian mungkin saja akan mempengaruhi hidup lingkungan sekitarnya. Bukankan mereka, para leluhur kita menulis dan menyimpan kehidupannya dalam untaian kalimat? Maka tak salah jika kita merasa bahwa Hamka seolah masih ada di Dunia ini saat membaca tafsir al-azharnya, atau saat membaca novel Bumi Manusia, maka kita seolah sedang bercengkrama dengan Parmoedya Ananta Toer.

Maka, menulis hari ini, detik ini, adalah milik saya. Saya ingin menulis apa yang saya bisa tulis dan bagikan untuk anda

Nun. Walqalami Wamaa Yasthuruun.

Salam Segar,

Irvan Nasily