Sabtu, 10 Juli 2010

Menulis, Membuang Gagasan yang Menyampah


Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Seperti saat anda, saya dan kita membutuhkan segelas air untuk kebutuhan cairan tubuh kita. Saya menulis ingin mencurahkan seluruh gagasan, ide, atau bahkan pikiran-pikiran yang menyampah di dalam otak saya. Dengan menulis saya bisa berbagi cerita dengan adik, kakak, ibu, ayah, tetangga, teman-teman, dan bahkan dengan musuh sendiri. Menjadi penulis bukan menjadi akhir tujuan, atau cita-cita teakhir. Menjadi penulis justeru sebagai gerbang pertaman untuk masuk ke level selanjutnya bahwa saya tidak boleh berhenti menulis. Say harus terus menulis menyampaikan sesuatu yang bisa dinikamti bersama

Menulis bagi saya seperti membuang sisa metebolisme; feses. Bukan lantas menjadi rendah dan hina. Justeru dengan itu saya merasa ada kelegaan dan kepuasan. Saya merasa puas ketika menulis telah diakhiri. Tapi, nutrisi bagi otak saya terus -hari demi hari- mengalir di sepanjang peredaran darah saya. Banyak informasi yang kian hari kian menumpuk dan mengendap di dalam otak saya. Saya mencoba menyimpannya, tapi metabolisme terus terjadi di setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Karena kita tahu, metabolisme yang baik adalah saat zat-zat yang direaksikan kemudian dipakai untuk kebutuhan energi. Begitu pun dengan menulis. Informasi-informasi yang menjejali itu terus direaksikan, pada akhirnya ia harus digunakan untuk sesuatu. Dan saya menggunakannya untuk membagikan pada banyak orang dengan menulis

Anda, saya, kita semua tak akan pernah luput dari kegiatan berbagi. Karena kita diciptakan dengan naluri bersama, seperti yang diungkapkan Aristoteles, manusia sebagai makhluk Zon Politican, makhluk yang empunyai hasrat untuk bersama, berbagi cerita, berbagi ilmu, berbagi pengalaman, berbagi gagasan, dan sebagainya

Menulis juga sebagai dokumentasi diri. Atau lebih pada refleksi diri. Maka dalam sebuah pengantar buku Kucing yang ditulis teman saya Fahd Djibran, Irfan Amalee menuliskan statement bagus mengenai 'pensejarahan' diri. "... jangan salahkan saya jika saya lebih mengenal Albert Einsten, Aristoteles, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, daripada mengenal kakek dari kakek saya. Alasannya sederhana, mereka menulis." Saya pun tak ingin dilupakan anak cucu saya. Saya tak ingin menangis jika seandainya anak cucu saya lebih membanggakan Karla Max, Vesalius, Goenawan Muhamad, Ulil Abshar Abdalla, Jalaludin Rakhmat, atau bahkan teman-teman saya seperti Fahd Djibran, Irfan Amalee, dan yang lainnya. Mungkin alasannya pun akan sederhana mereka menulis, sedangkan saya tidak

Maka dari kesadaran itu lah saya memutuskan untuk menulis, bukan menjadi penulis. Menulis apa yang saya rasakan hari ini, hari esok, bulan depan, tahun depan, dan waktu-waktu lainnya. Agar setelah saya meninggal nanti, saya bisa mewariskan sesuatu bagi anak cucu saya khususnya, terlebih bagi bangsa ini. Bukannya Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk terus memberi kontribusi bagi dunia, walau jasad kita suda disantap cacing dan binatang lainnya? Ya, salah satunya dengan menyebarkan gagasan yang bisa bermashlahat bagi khalayak masyarakat. Dan saya pilih dengan menulislah cara itu bisa saya capai. Dengan menulis, gagasan kita tak akan hilang dan akan -setidaknya- dibaca orang. Kemudian mungkin saja akan mempengaruhi hidup lingkungan sekitarnya. Bukankan mereka, para leluhur kita menulis dan menyimpan kehidupannya dalam untaian kalimat? Maka tak salah jika kita merasa bahwa Hamka seolah masih ada di Dunia ini saat membaca tafsir al-azharnya, atau saat membaca novel Bumi Manusia, maka kita seolah sedang bercengkrama dengan Parmoedya Ananta Toer.

Maka, menulis hari ini, detik ini, adalah milik saya. Saya ingin menulis apa yang saya bisa tulis dan bagikan untuk anda

Nun. Walqalami Wamaa Yasthuruun.

Salam Segar,

Irvan Nasily

Tidak ada komentar:

Posting Komentar