Kamis, 19 Agustus 2010
Langit Ketujuh Siap Meluncur
Judul : Langit Ketujuh
Penulis : Irvan Nasily
Genre : Novel
Penerbit : Antena Publishing
ISBN : 978-602-97654-0-3
Tebal : 310+viii hal
Ukuran : 19 x 14,5 cm
Harga : 45.000,-
.........................................................................................................
Menjadi dokter ternyata bukan jawaban yang memuaskan. Menjadi dokter bukan berarti untuk menjadi seorang kaya raya. Dalam beberapa sesi obrolan kecilnya, ia tersadarkan dengan anekdot dosennya. Ketika itu siang hari, saat panas mulai menghimpitnya.
"Kalau kalian mau kaya, jadilah pengusaha. Bukan jadi dokter!" Itu kata-kata yang menghujam dadanya. Itulah ungkapan yang lugas, keras dan terus berirama.
Mulai saat itu. Ia belajar untuk menjadi dokter yang lebih arif. Ia mulai memikirkan masa depan sosialnya. Ia tak hanya memikirkan tugas-tugas anatomi, fisiologi, dan lainnya. Ia mulai tertarik untuk memikirkan nasib bangsanya. Juga mencari solusi atas masyarakat di sekitarnya yang mulai terhimpit berbagai masalah.
Kegalauan itu akhirnya ia ceritakan pada kakeknya. Pada kakek yang telah ia kenal dan cintai. Ia biasa memanggilnya Akeh. Mulai saat itu, di suatu pagi ia meluangkan waktu untuk berkunjung ke Surau menemui Akeh, bercerita banyak hal. Dalam benaknya, berbagi adalah kebutuhan pokok, di samping makan dan minum. Dan dengan menuliskannya, ia merasa betapa dunia ini sungguh sayang jika tak dipotret dan diabadikan dengan untaian kata.
...........................................................................................................
"Satu kaliamt yang menarik dalam film Vertical Limit adalah: Semua orang akan mati, tapi yang penting apa yang bisa diperbuat sebelum mati. Orang hidup itu intinya adalah menulis sejarahnya, yang dengannya dia akan tetap dikenang meski sudah mati. Sdr. Irvan dengan indah telah menuliskan sejarahnya. Tulisannya cukup hidup dan inspiratif. Maka... Bacalah!"
dr. Sagiran, Sp.B.,M.Kes., Dosen FKIK UMY, Agamawan, Saintis, dan Penulis buku Mukjizat Shalat.
"Bagi mahasiswa seperti Irvan, kesediaan mengemukakan gagasan dan keberanian untuk menuliskannya saja sudah merupakan kemewahan yang patut dipujikan. Selamat! Saya termasuk orang yang membaca buku ini."
Fahd Djibran, Penulis dan Pegiat Kreativitas
"Dengan membandingkan novel Langit Ketujuh dengan karya-karya lain Irvan Nasily sebelumnya, saya sampai pada kesimpulan, bahwa ia telah berkembang pesat dalam menulis. Kali ini ia jauh lebih merdeka sebagai penulis. Usia semuda ini, ia berani mengambil jalur independen untuk menerbitkan karyanya."
Irwan Bajang, Penulis dan Pemred Indie Book Corner.
.........................................................................................................
Novel Langit Ketujuh adalah catatan-catatan kecil yang ringan dan sederhana. Bisa dibawa ke mana-mana, dibagikan kepada teman-teman, sebagai hadiah ulang tahun, hadiah ucapan "selamat" atas transisi mahasiswa, kado pernikahan, atau buku teman tidur anda.
Untuk berbagi kisah silahkan berkirim pesan ke daengdoang@gmail.com atau jika ingin memesan dari jauh hari silahkan berkirim ke irvan_nasily21@yahoo.com.
Salam Bahagia,
Irvan Nasily
SHARE!
--------------------------------------------------------------------------------------
Sabtu, 14 Agustus 2010
Islam, Agama yang Aneh
Selasa, 03 Agustus 2010
Ramadhan Betapa Kau Indah dan Kurindukan
Allah, aku ingin semakin dekat denganMu. Allah, aku ingin semakin mencintaiMu, bukan yang lain. Allah, jika Kau menjadi juri bagi kehidupanku, aku ingin Kau tetap membelaku. Aku tahu, tubuhku bergelimang dosa. Dosa kemunafikan, keberpihakanku pada yang lain, kekurang ajaranku pada ajaran agammu yang indah dan suci, kesok tahuanku pada ilmuMu, kesombonganku pada setetes anugerahMu yang semestinya kusyukuri. Allah, lama sekali aku tak menangis merindukanMu, karena kehidupan dunia ini menyesakkiku. Allah, aku ingin mendekatiMu. Pliiis, Allah. Aku yakin mataMu tak pernah berkedip. Aku yakin tanganMu tak pernah terbalik untuk meminta. Aku yakin kakiMu tak pernah beranjak meninggalkan hamba-hambaMu. Aku tahu, aku yakin, karena Kau kekasihku, tapi aku malu, karena jangan-jangan Kau sudah tak menganggapku.
Aku masih ingat ketika Kau memanggilku di suatu pagi yang sejuk, tapi aku tak begitu peduli pada suara indahMu. Aku masih ingat, ketika Kau memberiku sesuap nasi, tapi aku memaksa untuk meminta segantang padi. Tapi, Allah, apa Kau tahu (pasti Kau Tahu), bahwa Ramadhan akan menghampiriku. Ramadhan, si bulan indah atau matahari cerah itu kini berada di depanku. Aku malu bertemu dengannya. Aku malu, ternyata dulu Ramadhan pada zaman Rasulullah saw adalah bulan yang sangat dinanti dan dirindukan para sahabat. Mereka terus menunggu kedatangan kekasihnya; Ramadhan yang mulia itu.
Allah, aku tahu, aku hanya akan menjadi pecundang jika menyambut Ramadhan ini dengan dingin-dingin saja. Atau bahkan tak sedikit pun ada respon cinta kasih yang membumbung untuk menyambutnya.
Aku heran dengan orang-orang mukmin-mukminat itu yang membisikiku pada suatu hari, "Ramadahan itu bulan penuh berkah, lho..." Aku mengangguk dan mengiyakannya. Tapi, lihatlah, baru saja ia bercerita seperti itu, ia tertangkap basah di sebuah kios sedang mencicipi segelas sirup segar.
Aku mengerti dengan maksud dan arah tujuan pembicaraannya. Aku tahu betapa ia menjadikan Ramadhan hanya sebatas konsep ringan tentang "menelan dan mencicipi". Ia menghayati Ramadhan dengan begitu dangkalnya. Ia mengambil sudut pandang yang begitu suram, bahwa ramadhan hanya sebatas nilai "batal dan tidak batal".
Semoga kita memaknai dengan sesungguhnya Ramadhan yang akan bertandang ke ruang tamu kita. Berbenahlah. Siapkanlah jiwa yang suci untuk menjamunya. Siapkanlah makanan halal untuk membugarkan tubuh di Ramadhan. Siapkanlah kain ketawadhuan untuk menyambutnya. Siapkanlah kursi keistiqamahan untuk mendudukkan Ramadhan di atas kursi terhormat.
Malam, saat Allah sedang berdiskusi dengan hambaNya.
Sabtu, 10 Juli 2010
Menulis, Membuang Gagasan yang Menyampah
Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Seperti saat anda, saya dan kita membutuhkan segelas air untuk kebutuhan cairan tubuh kita. Saya menulis ingin mencurahkan seluruh gagasan, ide, atau bahkan pikiran-pikiran yang menyampah di dalam otak saya. Dengan menulis saya bisa berbagi cerita dengan adik, kakak, ibu, ayah, tetangga, teman-teman, dan bahkan dengan musuh sendiri. Menjadi penulis bukan menjadi akhir tujuan, atau cita-cita teakhir. Menjadi penulis justeru sebagai gerbang pertaman untuk masuk ke level selanjutnya bahwa saya tidak boleh berhenti menulis. Say harus terus menulis menyampaikan sesuatu yang bisa dinikamti bersama.
Menulis bagi saya seperti membuang sisa metebolisme; feses. Bukan lantas menjadi rendah dan hina. Justeru dengan itu saya merasa ada kelegaan dan kepuasan. Saya merasa puas ketika menulis telah diakhiri. Tapi, nutrisi bagi otak saya terus -hari demi hari- mengalir di sepanjang peredaran darah saya. Banyak informasi yang kian hari kian menumpuk dan mengendap di dalam otak saya. Saya mencoba menyimpannya, tapi metabolisme terus terjadi di setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Karena kita tahu, metabolisme yang baik adalah saat zat-zat yang direaksikan kemudian dipakai untuk kebutuhan energi. Begitu pun dengan menulis. Informasi-informasi yang menjejali itu terus direaksikan, pada akhirnya ia harus digunakan untuk sesuatu. Dan saya menggunakannya untuk membagikan pada banyak orang dengan menulis.
Anda, saya, kita semua tak akan pernah luput dari kegiatan berbagi. Karena kita diciptakan dengan naluri bersama, seperti yang diungkapkan Aristoteles, manusia sebagai makhluk Zon Politican, makhluk yang empunyai hasrat untuk bersama, berbagi cerita, berbagi ilmu, berbagi pengalaman, berbagi gagasan, dan sebagainya.
Menulis juga sebagai dokumentasi diri. Atau lebih pada refleksi diri. Maka dalam sebuah pengantar buku Kucing yang ditulis teman saya Fahd Djibran, Irfan Amalee menuliskan statement bagus mengenai 'pensejarahan' diri. "... jangan salahkan saya jika saya lebih mengenal Albert Einsten, Aristoteles, Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, daripada mengenal kakek dari kakek saya. Alasannya sederhana, mereka menulis." Saya pun tak ingin dilupakan anak cucu saya. Saya tak ingin menangis jika seandainya anak cucu saya lebih membanggakan Karla Max, Vesalius, Goenawan Muhamad, Ulil Abshar Abdalla, Jalaludin Rakhmat, atau bahkan teman-teman saya seperti Fahd Djibran, Irfan Amalee, dan yang lainnya. Mungkin alasannya pun akan sederhana mereka menulis, sedangkan saya tidak.
Maka dari kesadaran itu lah saya memutuskan untuk menulis, bukan menjadi penulis. Menulis apa yang saya rasakan hari ini, hari esok, bulan depan, tahun depan, dan waktu-waktu lainnya. Agar setelah saya meninggal nanti, saya bisa mewariskan sesuatu bagi anak cucu saya khususnya, terlebih bagi bangsa ini. Bukannya Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk terus memberi kontribusi bagi dunia, walau jasad kita suda disantap cacing dan binatang lainnya? Ya, salah satunya dengan menyebarkan gagasan yang bisa bermashlahat bagi khalayak masyarakat. Dan saya pilih dengan menulislah cara itu bisa saya capai. Dengan menulis, gagasan kita tak akan hilang dan akan -setidaknya- dibaca orang. Kemudian mungkin saja akan mempengaruhi hidup lingkungan sekitarnya. Bukankan mereka, para leluhur kita menulis dan menyimpan kehidupannya dalam untaian kalimat? Maka tak salah jika kita merasa bahwa Hamka seolah masih ada di Dunia ini saat membaca tafsir al-azharnya, atau saat membaca novel Bumi Manusia, maka kita seolah sedang bercengkrama dengan Parmoedya Ananta Toer.
Maka, menulis hari ini, detik ini, adalah milik saya. Saya ingin menulis apa yang saya bisa tulis dan bagikan untuk anda.
Nun. Walqalami Wamaa Yasthuruun.
Salam Segar,
Irvan Nasily