Selasa, 03 Agustus 2010

Ramadhan Betapa Kau Indah dan Kurindukan


Allah, aku ingin semakin dekat denganMu. Allah, aku ingin semakin mencintaiMu, bukan yang lain. Allah, jika Kau menjadi juri bagi kehidupanku, aku ingin Kau tetap membelaku. Aku tahu, tubuhku bergelimang dosa. Dosa kemunafikan, keberpihakanku pada yang lain, kekurang ajaranku pada ajaran agammu yang indah dan suci, kesok tahuanku pada ilmuMu, kesombonganku pada setetes anugerahMu yang semestinya kusyukuri. Allah, lama sekali aku tak menangis merindukanMu, karena kehidupan dunia ini menyesakkiku. Allah, aku ingin mendekatiMu. Pliiis, Allah. Aku yakin mataMu tak pernah berkedip. Aku yakin tanganMu tak pernah terbalik untuk meminta. Aku yakin kakiMu tak pernah beranjak meninggalkan hamba-hambaMu. Aku tahu, aku yakin, karena Kau kekasihku, tapi aku malu, karena jangan-jangan Kau sudah tak menganggapku.

Aku masih ingat ketika Kau memanggilku di suatu pagi yang sejuk, tapi aku tak begitu peduli pada suara indahMu. Aku masih ingat, ketika Kau memberiku sesuap nasi, tapi aku memaksa untuk meminta segantang padi. Tapi, Allah, apa Kau tahu (pasti Kau Tahu), bahwa Ramadhan akan menghampiriku. Ramadhan, si bulan indah atau matahari cerah itu kini berada di depanku. Aku malu bertemu dengannya. Aku malu, ternyata dulu Ramadhan pada zaman Rasulullah saw adalah bulan yang sangat dinanti dan dirindukan para sahabat. Mereka terus menunggu kedatangan kekasihnya; Ramadhan yang mulia itu.

Allah, apakah Ramadhan benar-benar telah di depan mata? Apakah Kau tak bercanda? Aku masih ingat ketika aku mengotak-atik sound di Masjid dekat rumah, lalu aku dimarahi salah seorang warga, ia protes keras padaku, aku hanya diam dan malu, dan itu terjadi di bulan Ramadhan beberapa tahun silam, tapi aku merasa itu seolah terjadi beberapa bulan silam.
Allah, aku tahu, aku hanya akan menjadi pecundang jika menyambut Ramadhan ini dengan dingin-dingin saja. Atau bahkan tak sedikit pun ada respon cinta kasih yang membumbung untuk menyambutnya.

Aku heran dengan orang-orang mukmin-mukminat itu yang membisikiku pada suatu hari, "Ramadahan itu bulan penuh berkah, lho..." Aku mengangguk dan mengiyakannya. Tapi, lihatlah, baru saja ia bercerita seperti itu, ia tertangkap basah di sebuah kios sedang mencicipi segelas sirup segar.

"Aku hanya mencicipi, kok. Tak menelannya. Satu sendok kucicipi dan kudiamkan di mulutku beberapa saat, tak kutelan, tapi langsung kumuntahkan kembali. Aku mengambil air lalu berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa sirup itu. Sungguh, aku tak menelannya, aku hanya mencicipinya. Jadi, Ramadhanku tak hilang dong."

Aku mengerti dengan maksud dan arah tujuan pembicaraannya. Aku tahu betapa ia menjadikan Ramadhan hanya sebatas konsep ringan tentang "menelan dan mencicipi". Ia menghayati Ramadhan dengan begitu dangkalnya. Ia mengambil sudut pandang yang begitu suram, bahwa ramadhan hanya sebatas nilai "batal dan tidak batal".

Ya Allah, jika itu ternyata aku, aku ingin bersimpuh di hadapanMu. Sadarkanlah hambaMu ini. Bangunkan hamba, ya Allah. Aku tak bermaksud menyuruhMu, tapi sebagai pengharapnku agar Kau membukakan hatiku untuk menerima Ramadhan sebagai cinta yang dirindukan, seperti para sahabat yang selalu merindukan Ramadhan. Karena, Ramadhan terlalu indah untuk hanya dimaknai sedangkal dan sesuram "aku" yang dulu.

Semoga kita memaknai dengan sesungguhnya Ramadhan yang akan bertandang ke ruang tamu kita. Berbenahlah. Siapkanlah jiwa yang suci untuk menjamunya. Siapkanlah makanan halal untuk membugarkan tubuh di Ramadhan. Siapkanlah kain ketawadhuan untuk menyambutnya. Siapkanlah kursi keistiqamahan untuk mendudukkan Ramadhan di atas kursi terhormat.

Syukran Jazilan. Ya Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbinaa 'Alaa Diinika. (Ya Allah, Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami berada di garis ajaranMu). Amiin.

Malam, saat Allah sedang berdiskusi dengan hambaNya.


Gambar diambil dari http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:1oBwS0DyehGdKM::&t=1&usg=__BnbKqnYnQZdPNodoJrsuMckOha4=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar