Allah, aku ingin semakin dekat denganMu. Allah, aku ingin semakin mencintaiMu, bukan yang lain. Allah, jika Kau menjadi juri bagi kehidupanku, aku ingin Kau tetap membelaku. Aku tahu, tubuhku bergelimang dosa. Dosa kemunafikan, keberpihakanku pada yang lain, kekurang ajaranku pada ajaran agammu yang indah dan suci, kesok tahuanku pada ilmuMu, kesombonganku pada setetes anugerahMu yang semestinya kusyukuri. Allah, lama sekali aku tak menangis merindukanMu, karena kehidupan dunia ini menyesakkiku. Allah, aku ingin mendekatiMu. Pliiis, Allah. Aku yakin mataMu tak pernah berkedip. Aku yakin tanganMu tak pernah terbalik untuk meminta. Aku yakin kakiMu tak pernah beranjak meninggalkan hamba-hambaMu. Aku tahu, aku yakin, karena Kau kekasihku, tapi aku malu, karena jangan-jangan Kau sudah tak menganggapku.
Aku masih ingat ketika Kau memanggilku di suatu pagi yang sejuk, tapi aku tak begitu peduli pada suara indahMu. Aku masih ingat, ketika Kau memberiku sesuap nasi, tapi aku memaksa untuk meminta segantang padi. Tapi, Allah, apa Kau tahu (pasti Kau Tahu), bahwa Ramadhan akan menghampiriku. Ramadhan, si bulan indah atau matahari cerah itu kini berada di depanku. Aku malu bertemu dengannya. Aku malu, ternyata dulu Ramadhan pada zaman Rasulullah saw adalah bulan yang sangat dinanti dan dirindukan para sahabat. Mereka terus menunggu kedatangan kekasihnya; Ramadhan yang mulia itu.
Allah, aku tahu, aku hanya akan menjadi pecundang jika menyambut Ramadhan ini dengan dingin-dingin saja. Atau bahkan tak sedikit pun ada respon cinta kasih yang membumbung untuk menyambutnya.
Aku heran dengan orang-orang mukmin-mukminat itu yang membisikiku pada suatu hari, "Ramadahan itu bulan penuh berkah, lho..." Aku mengangguk dan mengiyakannya. Tapi, lihatlah, baru saja ia bercerita seperti itu, ia tertangkap basah di sebuah kios sedang mencicipi segelas sirup segar.
Aku mengerti dengan maksud dan arah tujuan pembicaraannya. Aku tahu betapa ia menjadikan Ramadhan hanya sebatas konsep ringan tentang "menelan dan mencicipi". Ia menghayati Ramadhan dengan begitu dangkalnya. Ia mengambil sudut pandang yang begitu suram, bahwa ramadhan hanya sebatas nilai "batal dan tidak batal".
Semoga kita memaknai dengan sesungguhnya Ramadhan yang akan bertandang ke ruang tamu kita. Berbenahlah. Siapkanlah jiwa yang suci untuk menjamunya. Siapkanlah makanan halal untuk membugarkan tubuh di Ramadhan. Siapkanlah kain ketawadhuan untuk menyambutnya. Siapkanlah kursi keistiqamahan untuk mendudukkan Ramadhan di atas kursi terhormat.
Malam, saat Allah sedang berdiskusi dengan hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar